Hai sahabat petani, bagaimana kabar tanaman Anda? Sehat dan subur kan? he he maaf kok tanamannya yang ditanya ya? Okelah, kali ini saya hanya akan berceloteh tentang bertani, hasilnya jauh lebih nikmat dibanding menjadi karyawan.
Mungkin ada diantara Anda yang pernah menjadi seorang petani, kemudian berhenti dan memutuskan untuk menjadi seorang karyawan. Atau sebaliknya, sebelumnya Anda pernah menjadi karyawan dan sekarang memilih untuk bertani. Nah, dari pengalaman tersebut pasti Anda bisa menyimpulkan mana yang terbaik antara menjadi karyawan dan seorang petani dalam hal kenikmatan hasilnya.
Saya sendiri anak seorang petani, yang dari kecil pasti hidup di lingkungan petani juga. Namun ketika dewasa justru saya bekerja ikut orang lain, yang mana pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan bercocok tanam. Untuk hasilnya, jujur saja lebih besar ketika menjadi karyawan. Sebab dulu saya hanya membantu orang tua saja.
Setelah menjadi karyawan, saya pulang kampung dan baru belajar bertani lagi. Anda perlu tahu, bahwa ternyata bertani itu sangat sulit. Apa lagi dulunya saya hanya membantu orang tua saja, itu pun bertani kakao alias coklat. Sedangkan sekarang harus memulai sendiri menanam sayur yang sebelumnya belum pernah diajarkan oleh orang tua saya.
Anda perlu tahu lagi bahwa hasil keringat saya hanya cukup untuk membeli pulsa, ke warnet dan sedikit membeli kebutuhan bedak dan minyak telon bayi saya. Hal itu wajar, sebab hasil sayur yang saya jual dalam tiga atau empat hari sekali hanya mendapat dua ribu sampai tidak lebih dari tiga puluh ribuan saja.
Bayangkan saja dengan hasil yang seperti itu, kapan mau cepat kaya? Namun, bukan itu inti dari pekerjaan yang baik. Pekerjaan yang baik adalah pekerjaan yang halal, dan tentunya hasilnya bisa membuat kita dan keluarga bahagia.
Ya sahabat, hasil dua ribu rupiah di kampung dengan bertani, sama seperti mendapat 50 ribu rupiah di kota saat menjadi karyawan. Setidaknya, itu menurut pendapat saya yang pernah menjadi karyawan dan petani.
Sangat tidak bisa dibayangkan bahagianya saya ketika mendapat rupiah sekecil itu. Rasa nikmat dan rasa syukurnya sangat luar biasa. Benar-banar susah untuk diungkapkan. Apa lagi, hasil pertaniannya benar-benar bisa kita rasakan sendiri untuk dimakan.
Sekarang, Saya menjadi anak kota dan menjadi seorang karyawan lagi. Penghasilan perbulannya puluhan kali lipat lebih banyak dibanding saat saya bertani. Bahkan uang ceperan yang saya dapatkan setiap bulannya pun jauh lebih banyak. Tapi percayalah bahwa hasil yang banyak ini tidak bisa mengalahkan nikmat dari hasil keringat saya ketika menjadi petani.
Itulah sebabnya kenapa saya berani mengatakan bahwa hasil bertani itu jauh lebih nikmat dibanding hasil menjadi seorang karyawan. Selain dari keringat sendiri, banyak keuntungan dan kelebihan jika kita menjadi petani yang tentunya membuat bertani itu menjadi pekerjaan yang sangat nikmat.
Sahabat, jika Anda sekarang adalah seorang petani, jangan malu dan jangan berkecil hati dengan penghasilan Anda. Bisa jadi hasilnya tidak seberapa, tapi rasanya dijamin luar biasa.
Demikian tulisan singkat ini, semoga ada manfaatnya bagi Anda. Salam dari petani sayur :)
Mungkin ada diantara Anda yang pernah menjadi seorang petani, kemudian berhenti dan memutuskan untuk menjadi seorang karyawan. Atau sebaliknya, sebelumnya Anda pernah menjadi karyawan dan sekarang memilih untuk bertani. Nah, dari pengalaman tersebut pasti Anda bisa menyimpulkan mana yang terbaik antara menjadi karyawan dan seorang petani dalam hal kenikmatan hasilnya.
Saya sendiri anak seorang petani, yang dari kecil pasti hidup di lingkungan petani juga. Namun ketika dewasa justru saya bekerja ikut orang lain, yang mana pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan bercocok tanam. Untuk hasilnya, jujur saja lebih besar ketika menjadi karyawan. Sebab dulu saya hanya membantu orang tua saja.
Setelah menjadi karyawan, saya pulang kampung dan baru belajar bertani lagi. Anda perlu tahu, bahwa ternyata bertani itu sangat sulit. Apa lagi dulunya saya hanya membantu orang tua saja, itu pun bertani kakao alias coklat. Sedangkan sekarang harus memulai sendiri menanam sayur yang sebelumnya belum pernah diajarkan oleh orang tua saya.
Anda perlu tahu lagi bahwa hasil keringat saya hanya cukup untuk membeli pulsa, ke warnet dan sedikit membeli kebutuhan bedak dan minyak telon bayi saya. Hal itu wajar, sebab hasil sayur yang saya jual dalam tiga atau empat hari sekali hanya mendapat dua ribu sampai tidak lebih dari tiga puluh ribuan saja.
Bayangkan saja dengan hasil yang seperti itu, kapan mau cepat kaya? Namun, bukan itu inti dari pekerjaan yang baik. Pekerjaan yang baik adalah pekerjaan yang halal, dan tentunya hasilnya bisa membuat kita dan keluarga bahagia.
Ya sahabat, hasil dua ribu rupiah di kampung dengan bertani, sama seperti mendapat 50 ribu rupiah di kota saat menjadi karyawan. Setidaknya, itu menurut pendapat saya yang pernah menjadi karyawan dan petani.
Sangat tidak bisa dibayangkan bahagianya saya ketika mendapat rupiah sekecil itu. Rasa nikmat dan rasa syukurnya sangat luar biasa. Benar-banar susah untuk diungkapkan. Apa lagi, hasil pertaniannya benar-benar bisa kita rasakan sendiri untuk dimakan.
Sekarang, Saya menjadi anak kota dan menjadi seorang karyawan lagi. Penghasilan perbulannya puluhan kali lipat lebih banyak dibanding saat saya bertani. Bahkan uang ceperan yang saya dapatkan setiap bulannya pun jauh lebih banyak. Tapi percayalah bahwa hasil yang banyak ini tidak bisa mengalahkan nikmat dari hasil keringat saya ketika menjadi petani.
Sahabat, jika Anda sekarang adalah seorang petani, jangan malu dan jangan berkecil hati dengan penghasilan Anda. Bisa jadi hasilnya tidak seberapa, tapi rasanya dijamin luar biasa.
Demikian tulisan singkat ini, semoga ada manfaatnya bagi Anda. Salam dari petani sayur :)
0 Response to "Bertani, Hasilnya Jauh Lebih Nikmat Dibanding Menjadi Karyawan"
Post a Comment
Gunakan kotak komentar untuk bertanya, menambahkan, memberi saran serta berdiskusi. Namun demikian, saya meminta kepada Anda agar jangan sampai menyinggung sesuatu yang berbau SARA. (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan)